HikmahKolom Arda DinataOpini

Bisikan Ilahi, Denyut Iman

Shalat bukanlah monolog kosong, tetapi dialog penuh makna. Al-Qur’an bukanlah teks mati, tetapi firman hidup yang berbicara kepada konteks kita. Keduanya merajut jembatan spiritual yang menghubungkan dimensi fana dan baka, mengantarkan jiwa kepada kedamaian yang selama ini kita cari.

Oleh: Arda Dinata

“Dalam keheningan sujud dan lembar-lembar mushaf terhampar, tersimpan dialog abadi antara hamba dan Sang Khalik. Jiwa yang merindukan pelabuhan akhirnya menemukan rumah dalam komunikasi dua arah yang tak pernah putus.”

Malam itu, Pak Hasan duduk termenung di serambi masjid kampung. Usianya yang hampir tujuh puluh tak menyurutkan kebiasaannya menghabiskan waktu di rumah Allah selepas shalat Isya. Seorang pemuda dengan wajah lelah menghampirinya. Ia adalah Rafi, mahasiswa tingkat akhir yang tengah berjuang menyelesaikan skripsi.

“Assalamualaikum, Pak Hasan,” sapa Rafi lirih.

“Waalaikumsalam, Nak,” jawab Pak Hasan. “Ada apa gerangan datang malam-malam begini? Wajahmu tampak resah.”

Rafi menghela nafas panjang. “Saya bingung, Pak. Hidup terasa hampa. Saya rajin shalat, tapi seolah kosong. Saya baca Al-Qur’an, tapi seperti hanya membaca tulisan tanpa makna. Saya mencari ketenangan, tapi tak kunjung datang.”

Pak Hasan tersenyum bijak. Ia mengambil sebuah gelas kosong dan sebotol air mineral. “Coba perhatikan,” ujarnya sambil meletakkan gelas itu di antara mereka. “Jika kamu ingin gelas ini berisi, apa yang harus dilakukan?”

“Tentu mengisinya dengan air, Pak,” jawab Rafi, agak bingung dengan pertanyaan sederhana tersebut.

“Benar,” kata Pak Hasan sambil menuangkan air ke dalam gelas hingga penuh. “Tapi bagaimana jika ingin air ini tetap bersih dan menyegarkan? Tentu harus sering diganti, bukan? Air yang diam terlalu lama akan keruh. Begitu pula dengan shalat dan bacaan Al-Qur’anmu.”

Pak Hasan melanjutkan, “Kamu sudah melakukan bentuk ibadah, tapi mungkin belum merasakan esensinya. Shalat bukanlah sekadar gerakan fisik, namun komunikasimu dengan Allah. Al-Qur’an bukan hanya tulisan Arab, tapi jawaban-Nya atas keresahanmu.”

Kisah sederhana ini menyibak tabir persoalan spiritualitas kontemporer yang jamak dihadapi umat Islam di era modern. Di tengah hiruk pikuk teknologi dan gempuran informasi, banyak dari kita yang secara fisik melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an, namun secara ruhani masih merasa jauh dari esensi kedua ibadah tersebut. Kita sering terjebak dalam ritualistik tanpa maknawi, seperti tubuh yang bergerak tanpa jiwa.

Imam Hasan Al-Bashri, seorang ulama tabi’in terkemuka, pernah berkata, “Jika kamu ingin berbicara dengan Allah, maka shalatlah! Dan jika kamu ingin Allah berbicara denganmu, maka bacalah Al-Qur’an.” Ungkapan ini bukan sekadar metafora indah, tetapi merangkum hakikat komunikasi transendental antara manusia dan Tuhannya—sebuah dialog dua arah yang menjembatani dimensi duniawi dan ukhrawi.

Dr. Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Muslim asal Pakistan, memaknai shalat sebagai “mi’raj al-mu’min” (pendakian spiritual seorang mukmin). Dalam karyanya “Asrar-i-Khudi” (Rahasia-Rahasia Diri), Iqbal menggambarkan shalat sebagai medium yang membebaskan jiwa dari belenggu materialistik, mengangkatnya ke dimensi yang lebih tinggi di mana ia bisa bercengkerama dengan Sang Khalik.

Menurut studi yang dilakukan oleh Dr. Andrew Newberg dari Thomas Jefferson University Hospital, sebagaimana dipublikasikan dalam jurnal “Religion, Brain and Behavior” (2022), aktivitas meditasi dan doa khusyuk secara signifikan memengaruhi area otak yang terkait dengan konsentrasi dan kesadaran diri. Pada subjek yang melakukan ibadah dengan penuh penghayatan, terjadi peningkatan aktivitas di lobus frontal dan parietal yang berkorelasi dengan pengalaman spiritual mendalam dan ketenangan pikiran.

Temuan ilmiah ini mengkonfirmasi apa yang telah disampaikan oleh tradisi Islam sejak berabad-abad lalu. Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” menulis, “Shalat tanpa kehadiran hati seperti tubuh tanpa ruh.” Ia menegaskan bahwa nilai shalat tidak terletak pada kesempurnaan gerakannya, melainkan pada kehadiran hati (khusyu’) yang mengiringinya.

Sayangnya, di era digital yang serba cepat dan instan, kita sering kehilangan aspek kekhusyukan ini. Psikolog sosial Dr. Zakiah Daradjat dalam penelitiannya “Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam” (2016) mengidentifikasi fenomena yang ia sebut sebagai “split spirituality”—kondisi di mana seseorang secara fisik melakukan ritual keagamaan namun jiwanya terpisah dari aktivitas tersebut.

Kita telah mengalami apa yang disebut oleh sosiolog Zygmunt Bauman sebagai “modernitas cair”—era di mana segala sesuatu bergerak cepat, tidak tetap, dan cenderung dangkal. Dalam kondisi ini, ibadah pun sering kali direduksi menjadi sekadar kewajiban mekanis tanpa kedalaman spiritual. Kita shalat untuk menggugurkan kewajiban, membaca Al-Qur’an untuk mengejar target halaman, tanpa sungguh-sungguh menelaah maknanya.

Sebagai contoh, survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2023) menunjukkan bahwa dari 70% responden yang mengaku rutin shalat lima waktu, hanya 32% yang merasa selalu khusyuk dan merasakan dampak spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, dari 63% yang mengaku rutin membaca Al-Qur’an, hanya 28% yang memahami makna ayat yang dibacanya.

Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas ibadah—sebuah paradoks di mana peningkatan aktivitas ritual tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesadaran spiritual. Kita telah menjadi generasi yang, meminjam istilah filsuf Jean Baudrillard, terjebak dalam “hiperrealitas”—kondisi di mana ritual agama hadir sebagai simulacrum, tiruan tanpa esensi.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Jauh sebelum era digital, Al-Qur’an telah memperingatkan tentang bahaya formalisme ibadah. Dalam surat Al-Ma’un, Allah mengecam mereka yang shalat namun lalai dari hakikatnya. Begitu pula dalam surat Al-Baqarah ayat 44, Allah mempertanyakan sikap memerintahkan kebaikan pada orang lain sementara melupakan diri sendiri, padahal mereka membaca Kitab.

Lantas, bagaimana kita mengembalikan esensi shalat sebagai komunikasi dengan Allah dan Al-Qur’an sebagai respon-Nya kepada kita? Bagaimana menjadikan kedua ibadah ini bukan hanya ritual, tetapi pengalaman spiritual yang transformatif?

admin

www.MiqraIndonesia.com adalah situs nasional menggali sisi lain informasi kehidupan manusia yang memberi inspirasi, ilmu, motivasi dan amal ibroh bagi pembacanya yang dikemas secara sederhana dan menarik.

error: Content is protected !!