Opini

Keadilan Semu di Arena Digital

Makna dari upaya mengembalikan keadilan sejati di arena digital: menolak simplifikasi, merayakan kompleksitas, dan menegaskan kembali bahwa teknologi seharusnya memperkuat, bukan melemahkan, nilai-nilai kemanusiaan kita.

Oleh: Arda Dinata

“Dalam ribuan komentar yang membanjir, kebenaran tenggelam dan keadilan tercekik. Pengadilan rakyat digital telah menjadi rimba tanpa hukum di mana tuduhan adalah vonis dan kebencian adalah eksekusi.”

Sepasang tangan gemetar menggenggam sebuah ponsel pintar. Layarnya benderang, memantulkan wajah seorang pria paruh baya yang tampak pucat pasi. Ardi, seorang kepala desa di pelosok Jawa Barat, baru saja melihat namanya menjadi trending topic di platform media sosial. Sebuah video pendek yang menampilkan dirinya sedang berbicara dalam acara rapat desa telah dipotong sedemikian rupa hingga seolah-olah ia mengatakan hal yang kontroversial tentang dana bantuan sosial. Padahal, jika didengarkan utuh, ia sedang menjelaskan kesulitan distribusi bantuan akibat data yang tidak akurat.

“Bagaimana bisa?” bisiknya lirih. Dalam hitungan jam, ribuan komentar membanjiri media sosial. Sebagian besar adalah hujatan, cacian, bahkan ancaman. Tanpa proses klarifikasi, tanpa ruang pembelaan, vonis telah dijatuhkan oleh pengadilan digital: Ardi dianggap bersalah. Keesokan harinya, rumahnya didatangi masa yang marah. Reputasi yang ia bangun selama puluhan tahun luruh dalam semalam.

Kisah Ardi mungkin terdengar seperti fiksi, namun skenario serupa telah dan terus terjadi di berbagai pelosok negeri. Fenomena “pengadilan digital” atau “trial by social media” telah menjadi realitas yang mengancam tidak hanya figur publik seperti kepala daerah, tetapi juga warga biasa yang secara tidak sengaja menjadi pusat perhatian publik.

Menurut penelitian dari Pusat Kajian Komunikasi Digital Universitas Indonesia (2023), sepanjang tahun 2022-2023, terdapat sedikitnya 234 kasus di mana pejabat publik, termasuk kepala daerah, menjadi sasaran pengadilan digital. Dari jumlah tersebut, 67% kasus didasarkan pada informasi yang tidak lengkap atau dipotong dari konteksnya. Lebih memprihatinkan lagi, 43% dari kasus tersebut berujung pada tindakan persekusi di dunia nyata.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial telah berevolusi dari sekadar sarana komunikasi menjadi arena pengadilan rakyat dengan jutaan hakim yang memutuskan tanpa proses hukum yang adil. Profesor Yasraf Amir Piliang, seorang filsuf dan pemikir budaya, menyebutnya sebagai “paradoks demokrasi digital”—di mana kebebasan berekspresi justru melahirkan bentuk-bentuk tirani baru.

“Media sosial memungkinkan partisipasi demokratis yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi juga menciptakan kondisi di mana emosi kolektif dapat dengan mudah dimanipulasi untuk menghakimi seseorang tanpa proses yang adil,” tulis Piliang dalam esainya “Digital Mob dan Krisis Keadilan” (2023).

Krisis keadilan ini semakin diperparah oleh algoritma platform media sosial yang cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat—kemarahan, kebencian, atau ketakutan—karena konten semacam itu menghasilkan engagement yang lebih tinggi. Data dari MIT Technology Review (2022) menunjukkan bahwa konten yang memicu kemarahan memiliki 20% lebih banyak kemungkinan untuk dibagikan dibandingkan konten yang netral atau positif.

Dalam bukunya “The Age of Surveillance Capitalism”, Shoshana Zuboff menggambarkan bagaimana logika kapitalisme pengawasan telah menciptakan ekonomi perhatian yang mendorong polarisasi dan konflik. “Algoritma tidak dirancang untuk mencari kebenaran atau keadilan, melainkan untuk memaksimalkan engagement,” tulisnya. Dalam konteks ini, tuduhan sensasional terhadap seorang kepala daerah akan mendapatkan jauh lebih banyak perhatian daripada penjelasan faktual yang lebih kompleks.

Masalah ini diperparah ketika dihadapkan dengan realitas kepemimpinan lokal di Indonesia. Dalam kultur yang masih kental dengan gotong royong dan musyawarah tatap muka, banyak kepala daerah belum siap menghadapi dinamika komunikasi digital yang cepat dan sering kali kejam. Dr. Siti Zuhro, peneliti senior LIPI, dalam penelitiannya “Kepemimpinan Lokal di Era Digital” (2022) menemukan bahwa hanya 31% kepala daerah yang memiliki tim khusus untuk menangani komunikasi digital secara efektif.

“Banyak kepala daerah masih menganggap media sosial sebagai sekadar ‘pemanis’ dalam komunikasi politik, bukan sebagai arena komunikasi utama yang memerlukan strategi serius,” tulis Zuhro. Akibatnya, ketika krisis digital terjadi, mereka sering kali terlambat atau salah dalam merespons, yang semakin memperburuk situasi.

Kita perlu mengakui bahwa pengadilan digital bukanlah fenomena yang sepenuhnya negatif. Dalam beberapa kasus, ia telah menjadi sarana efektif untuk mengungkap korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin tidak terungkap melalui jalur formal. Namun, tanpa mekanisme verifikasi yang adil, fenomena ini sering kali menjadi alat persekusi yang merusak, bukan mekanisme akuntabilitas yang membangun.

Al-Ghazali, dalam magnum opusnya “Ihya Ulumuddin”, memperingatkan tentang bahaya ghibah (menggunjing) dan tuduhan tanpa bukti. “Sebelum kau menuduh seseorang, pastikan kebenaran tuduhan itu sebagaimana kau ingin dipastikan jika kau yang dituduh,” tulisnya. Prinsip ini menjadi semakin relevan di era digital, di mana sebuah tuduhan dapat menyebar secepat kilat dan merusak kehidupan seseorang dalam hitungan jam.

Lantas, bagaimana kita bisa menjembatani kesenjangan antara kebebasan berekspresi digital dan keadilan yang bermartabat? Diperlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Pertama, literasi digital kritis harus menjadi prioritas nasional. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengidentifikasi informasi yang dimanipulasi, mengecek fakta sebelum membagikan, dan menahan diri dari partisipasi dalam persekusi digital. Penelitian dari Stanford History Education Group (2022) menunjukkan bahwa pendekatan literasi digital yang berfokus pada “lateral reading”—mengecek sumber lain untuk memverifikasi informasi—jauh lebih efektif daripada pendekatan yang hanya mengajarkan cara mengidentifikasi “berita palsu”.

admin

www.MiqraIndonesia.com adalah situs nasional menggali sisi lain informasi kehidupan manusia yang memberi inspirasi, ilmu, motivasi dan amal ibroh bagi pembacanya yang dikemas secara sederhana dan menarik.

error: Content is protected !!