Politik Perubahan Bangsa dan Telaga Kesejukan Islam
Politik perubahan bangsa dan telaga kesejukan Islam, hal ini merupakan dua hal yang harus dikedepankan agar memberi kedamaian
Oleh: Arda Dinata
MIQRA INDONESIA – SAAT ini perlu politik perubahan bangsa –apalagi menjelang pemilihan umum (pemilu), keadaan keamanan dan kedamaian dalam bernegara (kecenderungan) ditentukan oleh kondisi politik yang ada. Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan diantara manusia.
Menurut Kuntowijoyo, kita tidak usah hirau dengan pernyataan “politik itu kotor”. Sebab, yang sesungguhnya kotor itu bukan politik, tapi manusianya (pelakunya). Politik adalah fitrah. Ia berada dalam garis linier dengan agama.
Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Maka, adalah hal yang keliru bila orang yang memisahkan agama dengan politik. Maafkan kedua hal itu sebagai sarana membangun politik perubahan bangsa menjadi lebih baik.
Politik adalah tata aturan hidup yang kasat mata. Namun, bukan berarti hal itu dapat dipisahkan dari ruh agama. Sebaliknya, justru harus merupakan manifestasi dari sosok manusia beragama.
Konsekuensinya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengalaman agamanya. Perbedaan ini, sah-sah saja, sepanjang menyangkut furu’ (cabang), bukan menyangkut pokok seperti akidah (tauhidullah).
Di sinilah, kita harus membangun politik yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Politik harus menjadi sarana untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi. Tanpa partisipasi politik umat Islam, yang mampu menjalankan politik Islam secara benar, maka ajaran Islam sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai itu, kita tidak boleh terlepas dari etika islami. Bukankah untuk mencapai sesuatu hasil yang bagus, harus menggunakan cara yang bagus pula. Mustahil, sebuah partai politik (baca: berpolitik) akan mampu membela Islam dan umat Islam, jika tega menggunakan cara curang, penuh intimidasi, manipulasi, dll. yang diharamkan.
Di sinilah, perlunya kita membangun kebeningan hati dalam berpolitik. Sehingga hasil yang diperoleh benar-benar bersih. Dan dengan cara yang bersih pula, maka hasilnya akan mengandung manfaat yang penuh berkah.
Islam sendiri merupakan sumber inspirasi bagi kehidupan manusia di panggung dunia, termasuk dalam hal melakukan politik perubahan bangsa. Artinya setiap kita ‘bebas’ memainkan peran apa saja, yang jelas setelah itu kita akan menjalani kehidupan sebenarnya. Di situlah, eksistensi seorang manusia menjadi taruhannya dalam menggapai hidup bahagia yang hakiki.
Aktualisasi perilaku dalam menggapai tujuan hidup itu, pada masyarakat realitasnya banyak yang keliru dan semu. Mereka dengan berbagai cara berusaha mempertahankan kedudukan, pangkat, jabatan dan status sosial lainnya, yang kadangkala mengabaikan etika dan moralitas.
Padahal, Islam sendiri mengajarakan bahwa berbagai label duniawi itu hanyalah aksesoris dunia semata. Justru, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia manusia yang akan mengantarkannya pada status hidup bahagia.
Perilaku model itu, saat ini masih mengayomi pola pikir masyarakat Indonesia. Materialisme diagungkan, sementara moralitas diabaikan. Kenyataan ini, kalau kita sadar dan mau jujur sebenarnya itulah yang merupakan akar dari keterpurukan bangsa ini. Dampaknya, bila pola pikir dan perilaku semacam itu masih dilakukan masyarakat, maka jangan harap bangsa ini segera mengalami perubahan kehidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu, pantas saja TS Eliot mengungkapkan, “Kehidupan di dunia ini mungkin akan berakhir dengan rengekan ketimbang jeritan. Dunia ini mungkin akan terjerumus ke dalam masa depan yang suram, diledakan oleh konflik, menderita ketidakadilan, yang dengan nekad mencoba mencari bentuk kehidupan yang lebih berarti.”
Dengan kata lain, masyarakat saat ini sebenarnya sedang memerlukan pemahaman tentang perubahan bangsa. Untuk mencapainya, kuncinya harus berawal dari pemahaman perubahan sosial yang terjadi di masyarakat secara baik.
Perubahan sosial, kata Selo Soemardjan, diartikan sebagai perubahan-perubahan pada lembaga sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat. Sementara para ahli sosiolog, membagi perubahan sosial menjadi beberapa bentuk.
Pertama, perubahan lambat (evolusi) dan perubahan cepat (revolusi).
Kedua, perubahan kecil dan perubahan besar. Ketiga, perubahan yang dikehendaki (direncanakan) dan perubahan yang tidak dikehendaki (tidak direncanakan).
Atas kesadaran itulah, harusnya kita ‘melek’ betul bahwa kehidupan ini pasti mengalami perubahan-perubahan, namun bentuknya bisa saling tumpang tindih atau berkolaburasi satu sama lainnya. Yang jelas, tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa.
Jadi, sangat wajar bila berawal dari berlangsungnya perubahan sosial yang baik di masayarakat itu akan berdampak terhadap perubahan bangsa yang baik pula di kemudian hari. Inilah kelihatannya sebuah kesadaran yang perlu dipahami oleh setiap kalangan pembangun bangsa, sehingga kita tidak terbawa dalam mitos perubahan yang menyesatkan.
Mitos perubahan sosial